Untuk Kordofon yang Sembunyi

Telah lari sembunyi dari udara ujar-ujar wajar yang sesekali datang di akhir pekan. Kadang di hari petang. Kadang hilang seperti sekarang. Seakan masih perlu izin untuk merindu, dua kepala yang mematuhi jarak, bergeming. Di sana dan di sini logika berkibar-kibar menaklukkan kata hati. Atau mungkin hati memang semu.

Setidaknya satu kesamaan tertera di seberang lembah: bahwa bunga sejauh ini bukan untuk disentuh, bahwa nasib mengharuskan hidup menggandeng erat wujud lain tanaman, bahwa pekan menuntut benak selalu padat. Lalu hati terpenggal pepat hanya untuk sempat memikirkan penat. Tak terbagi. Belum mau dibagi.

Dengan tiga teguk satu siang, apakah semu menjadi nyata? Adakah air mata? Akankah api bernyawa?

Comments